KABAR DARI ACEH

Dilindungi Undang – Undang Pokok Pers , Afrijal Tolak BAP

Aceh Tamiang – Aceh Monitor Com (AMC). Terkait salah satu pemberitaan  di portal online “Belum Setahun Jalan yang Diawasi Tim TP4D Sudah Rusak’ senilai Rp.24,9 miliar bersumber dana Otsus tahun 2018, dikabupaten Aceh Tamiang, Aceh.

Afrijal menolak berkas Acara Pemeriksaan (BAP) Polres setempat. Penolakan Afrijal sangat beralasan, sebab Pelapor tidak menggunakan kewajiban hak koreksi, adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar, yang telah diberitakan oleh media bersangkutan.

Hal tersebut tertuang di dalam Undang Undang Pokok Pers nomot 40 tahun 1999, Bab I, Pasal 1 nomor 13. “Dasar inilah saya menolak untuk di BAP sebab, Pelapor tidak menggunakan regulasi hukum, dalam ketentuan Pers,” tegas Afrijal kepada wartawan, Kamis, (12/9/2019) di Karang Baru.

Dia juga menjelaskan, penolakan tersebut sudah sesuai dengan isi dari BAB II, Pasal 4, nomor 4 disebutkan bahwa, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.

Selain itu, sebut Afrijal, dalam Memorandum off Understanding (MoU) nomor 2 – DP/MoU/II/2017, nomor B/15/2/2017 tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan Pers dan penegakkan hukum terkait penyalahgunaan pers.

Bahwa pada BAB III, Pasal 4 pihak kedua (polri) apabila menerima pengaduan perselisihan atau sengketa termasuk surat pembaca atau opini atau kolom antara wartawan dan atau media dengan masyarakat akan mengarah yang berselisih sengketa dan atau pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi pengaduan ke Pihak ke Satu maupun proses perdata.

Dan sebagaimana dimaksud dalam nomor 3 , pasal 4, disebutkan bahwa, apabila solusi penyelesaian langkah-langkah dari pihak ke satu tersebut tidak dapat diterima, Pelapor, Pengadu dan ingin menempuh proses hukum lainnya maka pihak pengadu diminta mengisi fotmulir pernyataan di atas kertas bermaterai.

“Saya hargai, apresiasi terhadap kinerja kepolisian, namun saya sangat menyayangkan, kenapa pelapor tidak menggunakan haknya, seperti tersebut di atas, untuk itu saya sangat berkberatan dan menolak untuk di BAP,” tegasnya.

Sementara ketua BW PWI Aceh Tamiang, Syawaluddin, mempertanyakan, secara regulasinya, apakah pelapor sudah memenuhi tahapan seperti dimaksud dalam Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999. Dan MoU antara Dewan Pers dan Polri.

Lebih rinci, syawal menjelaskan, Pelapor tidak seharuanya melaporkan dugaan pencemaran nama baik ini ke pihak penegak hukum (kepolisian), sebab wartawan dilundungi oleh UNDANG UNDANG POKOK PERS NOMOR 40 TAHUN 1999 yang sifatnya Lex specialis derogat legi generali DAN ISI DARI BUTIR BUTIR Memorandum of Understanding (MoU) antara KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA dan DEWAN PERS.

“Saya kira, pelapor belum menggunakan hak jawabnya sebagai bentuk sanggahan, keberatan atas isi pemberitaan tersebut, yang berindak untuk dan atas nama perusahaan, pase ini harus dilalui oleh pelapor,” katanya.

Dia menambahkan, setelah dimuatnya hak sanggah tersebut di Salah satu Media Online dan isi sanggahannya dibaca oleh Pelapor, setelah dilansir, lalu masih juga kurang puas atas isinya, Pelapor punya hak untuk meneruskan Laporannya ke Dewan Pers.

Dan bukti lansiran berita hak sanggah yang dimuat oleh Salah Satu Media Online adalah sebagai alat bukti di pengadilan Dewan Pers dan memiliki kekuatan hukum tetap, serta mengikat kepada Pelapor dan Terlapor.

“Apalagi dalam BAB III Pasal 4 MoU pihak Polri dan Dewan Pers, (1) Para Pihak berkoordinasi terkait perlindungan Kemerdekaan Pers dalam pelaksanaan dibidang pers sesuai dengan peraturan Perundang Undangan. Kan sangat jelas disebut,” tegasnya.

Bahwa pasal 4 poin (2) dikatakan, Pihak Kedua, apabila penerima pengaduan dugaan perselisihan sengketa termasuk surat pembaca dan atau opini, kolom antara wartawan atau media dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih atau bersengketa dan atau pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi pengaduan ke pihak ke Satu, maupun proses perdata.

“Saya tegaskan, delik pers bukan delik pidana, delik pers adalah sengketa pers bukan kriminalisasi, jadi saya sangat berkebaratan jika kasus ini menjadi delik pidana nanti. Ada upaya mengkebiri hak-hak jurnalis dengan mengabaikan undang-undang pokok pers,” kata Syawal.

Sementara Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) yang diwakili oleh Sawaludin, SH sebagai kuasa hukum berpendapat,  kalau Pelapor terlalu dini membawa kasus ini kepihak kepolisian, sebab ada jenjangnya seperti dimaksud dalam Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999.

“Saya kira Pelapor tidak memahami isi dari undang-undang pers, sehingga ada kesan pelapor telah melampaui poin-poin pokok dari isi undang-undang tersebut,” tegas Sawal.

Dia juga mengatakan, kasus Afrijal murni sengketa delik pers, bukan ranahnya pidana. “Aneh kok bisa statusnya ditingkatkan dari penyelidik menjadi penyidik, apakah Pelapor sudah memenuhi jenjang dan haknya?” katanya. (Hair)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Populer

To Top
error: Content is protected !!